Kamis, 29 Maret 2012

Paul Ehrlich – Penemu Kemoterapi.
Selasa, 12-06-2007

Paul Ehrlich adalah seorang ahli bakteriologi berkebangsaan Jerman. Ia disebut sebagai : "Bapak Imunologi, Hematologi, dan Kemoterapi". Ehrlich kecil dilahirkan di Strehlen, Silesia (Strzelin, Polandia) pada 14 Maret 1854.
Prestasinya di sekolah dan universitas tidak menonjol bahkan tergolong rendah, namun ia orang yang gigih. Dengan bersusah-payah dan berpindah-pindah kuliah di Universitas Breslau, Strasbourg, Freiburg dan Leipzig, akhirnya ia berhasil meraih gelar Doktor pada usia 24 tahun dengan tesis bertajuk “Sumbangan untuk Teori dan Praktek Mewarnai Jaringan”. Prestasinya yang jelek bukan karena ia bodoh, tetapi lebih disebabkan kurangnya waktu untuk belajar. Waktunya banyak disita kegemarannya mencoba bermacam-macam zat warna untuk mewarnai jaringan tubuh yang masih hidup. Dia memiliki cita-cita untuk menemukan sesuatu yang dapat membunuh bibit-bibit penyakit di dalam tubuh manusia tanpa merusak jaringan tubuh. Sebab ia berkeyakinan, bibit penyakit tertentu hanya menyerap zat warna kimia tertentu yang bila bibit penyakit itu menyerap zat kimia tertentu lain, bibit penyakit itu akan mati. Pengobatan dengan zat kimia yang kemudian dikenal sebagai "Kemoterapi" inilah salah satu temuannya.

Pada tahun 1886 ia bergabung dengan Institute for Infectious Diseases di Berlin. Kemudian setelah menghabiskan dua tahun di Mesir, untuk penyembuhan Tubercolosis, ia bekerjasama dengan Emil Adolf von Behring untuk mengembangkan serum Dipteri. Kerjasama ini mengilhami Ehrlich dalam teorinya yang terkenal dengan Seitenkettentheorie ( teori rantai samping ) pada tahun 1897. Teori ini menerangkan efek dari serum dan memungkinkan pengukuran jumlah antigen. Pada tahun 1896 Ehrlich menjadi Direktur dari Institute of Serum Research and Examination di Steglitz, Berlin. Pada tahun 1899 institut ini dipindah ke Frankfurt, Main dan dikembangkan menjadi Royal Institute of Experimental Therapy. Disini Ehrlich meneliti kemoterapi dan penyakit menular lainnya. Pada tahun 1904, Ehrlich menjadi profesor kehormatan di University of Göttingen. Pada tahun 1906 ia menemukan susunan rumus dari atoxyl, satu campuran kimiawi yang terbukti mampu mengobati penyakit tidur. Selanjutnya ia dan muridnya, Sahachiro Hata, mengembangkan Salvarsan, perawatan efektif melawan Sifilis pada tahun 1909. Penelitian ini mengawali riset-riset lainnya mengenai pengembangan penisilin dan antibiotik lainnya.

Ia menikah dengan Hedwig Pinkus ---yang saat itu usianya masih 19 tahun--- pada tahun 1883. Mereka dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Stephanie dan Marianne. Ehrlich adalah seorang ilmuwan yang mempersembahkan penemuannya untuk kepentingan umum dan kemanusiaan. Ia tidak mengaitkan penemuannya dengan uang. Maka layaklah ia dianugerahi Hadiah Nobel untuk kedokteran dan fisiologi bersama-sama dengan Ilya Ilyich Mechnikov pada tahun 1908.
Selain Hadiah Nobel, ia juga menerima penghargaan Tiedemann dari Senckenberg Naturforschende Gesellschaft di Frankfurt, Main pada tahun 1887, Prize of Honour pada International Congress of Medicine ke XV di Lisbon pada tahun 1906, Medali Liebig dari Komunitas Kimia Jerman pada tahun 1911, Cameron Prize of Edinburgh pada 1914. Pada tahun 1897 Pemerintah Prusia menganugerahkannya gelar sebagai Privy Medical Council. Dan pada 1911 ia diangkat sebagai kelompok penasihat yang paling tinggi, Real Privy Council , dengan titel Excellency.
Ketika Perang Dunia I pecah pada tahun 1914, ia menjadi sangat tertekan dan saat Natal tahun itu dia terserang stroke. Kesehatannya memburuk sejak saat itu, dan pada 20 Agustus 1915 ia meninggal karena serangan stroke yang kedua kalinya di Bad Homburg. Hidupnya digambarkan dalam film “Magic Bullet”, yang terfokus pada Salvarsan®(arsfenamina), yang digunakannya untuk mengobati penyakit sifilis.

Kamis, 15 Maret 2012

Sekilas Tentang Tugu Khatulistiwa
Tugu Khatulistiwa yang terletak di Siantan, Pontianak Utara. Tugu yang hanya berjarak lima kilometer dari pusat kota menuju arah Singkawang ini terlihat jelas. Sebagai simbol bahwa Pontianak di lintasi oleh satu garis yang membelah bumi menjadi dua bagian dan kota pontianak salah satu kota yang di lintasi oleh satu garis bujur itu atau garis khatulistiwa. Dalam pelajaran geografi, Bumi diibaratkan dibagi menjadi dua bagian, yakni belahan utara dan belahan selatan. Dari pembagian itu, dapat dikatakan Kota Pontianak berada persis di tengah-tengah garis imajiner tersebut.
ISTIMEWA. Itulah barang kali kata yang tepat untuk menyebut Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Dikatakan istimewa, karena kota ini hanyalah salah satu dari beberapa daerah di dunia yang dilewati garis khayal khatulistiwa atau ekuator. Untuk menandainya dibangunlah Tugu Khatulistiwa atau Equator Monument pada garis lintang nol derajat yang terletak di Siantan, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Pontianak ke arah Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak.

Sejarah Tugu khatulistiwa
Berdasarkan prasasti di dalam kompleks Tugu Khatulistiwa, dikisahkan pada 31 Maret 1928 satu ekspedisi internasional yang dipimpin ahli geografi berkebangsaan Belanda datang ke Pontianak untuk menentukan titik khatulistiwa.
Pada tahun itu juga dibangun tugu pertama berbentuk tonggak tanda panah kemudian disempurnakan pada tahun 1930. Setelah itu, arsitek Silaban (1938) menyempurnakan dan membangun tugu yang baru dengan empat tonggak kayu belian menopang lingkaran dengan anak panah penunjuk arah setinggi sekitar 4,40 meter.
Baru kemudian, pada tahun 1990, tugu direnovasi dengan pembuatan kubah untuk melindungi tugu yang asli. Di atas kubah dibuatlah duplikat tugu berukuran lima kali lebih besar dibandingkan dengan tugu yang aslinya.
Peresmian dilakukan 21 September 1991 meski, setelah diukur kembali pada Maret 2005 dengan alat global positioning system (GPS), titik lintang nol derajat ternyata berada sekitar 117 meter ke arah Sungai Kapuas, dari tugu yang sekarang berdiri.

Gambaran Umum Tugu Khatulistiwa
Bangunan itu terdiri dari empat buah tonggak atau tiang dari kayu belian atau kayu ulin (kayu langka khas Kalimantan). Masing-masing tonggak berdiameter 0,30 meter. Dua tonggak bagian depan tingginya 3,05 meter dari permukaan tanah, sedangkan dua tonggak bagian belakang, tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah, tingginya 4,40 meter.
Adapun diameter lingkaran yang bertuliskan “EUENAAR” 2,11 meter. Panjang panah yang menunjuk arah lingkaran ekuator adalah 2,15 meter. Di bawah panah terdapat tulisan “109 derajat 20’0″OlvG” yang menunjukkan letak tugu itu berdiri pada garis bujur timur. Setiap terjadi titik kulminasi, bayangan tugu dan benda-benda lain di sekitarnya menghilang beberapa saat. Ini menandakan bahwa tugu ini benar-benar berada di garis lintang nol derajat.

Keunikan Tugu khatulistiwa
Peristiwa yang paling menakjubkan di sekitar Tugu Khatulistiwa adalah saat terjadi kulminasi, yakni Matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu bayangan tugu “menghilang” beberapa detik, meskipun diterpa sinar Matahari. Kita yang berdiri di sekitar tugu juga akan hilang bayangannya selama beberapa saat.
Titik kulminasi Matahari itu terjadi setahun dua kali, yakni antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Bagi masyarakat Kalbar, peristiwa alam ini menjadi tontonan menarik sehingga menjelang kulminasi Matahari.
Kini tugu itu sudah berusia 75 tahun. Selama kurun waktu itulah Kota Pontianak menjadi salah satu kota yang terkenal di dunia sebagai kota khatulistiwa. Daya tarik tugu tidak terletak pada sisi komersialnya, tetapi justru pada upaya penataan agar serasi dengan alam dan kelestarian Sungai Kapuas. Tugu Khatulistiwa dan Sungai Kapuas adalah ikon pariwisata Kalimantan Barat.\



sekarangKota Pontianak merupakan salah satu daerah yang dilalui oleh garis imajiner khatulistiwa. Untuk menandainya, dibangunlah sebuah tugu yang diberi nama Tugu Khatulistiwa (Equator Monument).

Secara historis, pembangunan tugu yang menjadi ikon Kota Pontianak ini telah dimulai pada tahun 1928, bersamaan dengan sebuah ekspedisi internasional yang dipimpin oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda untuk menentukan garis imajiner khatulistiwa. Saat itu, bangunannya masih sederhana, yakni berupa sebuah tonggak yang diberi tanda panah penunjuk arah. Pada tahun 1938, arsitek Silaban merenovasi tugu tersebut dan menambahkan sebuah lingkaran di atas tonggaknya. Baru pada tahun 1990, dengan niat untuk melindungi tugunya yang asli, pemerintah daerah setempat berinisiatif membangun sebuah kubah. Kemudian, di atas kubah tersebut dibuat duplikat tugu dengan ukuran lima kali lebih besar dari ukuran tugu yang aslinya.

Pada bulan Maret 2005, sebuah tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengkoreksi lokasi titik nol garis khatulistiwa yang sebenarnya. Setelah melalui serangkaian pengkajian yang mendalam, tim dari BPPT menyimpulkan bahwa posisi 0 derajat, 0 menit, dan 0 detiknya ternyata berada sekitar 117 meter ke arah Sungai Kapuas dari lokasi tugu yang sekarang ini.
Keistimewaan

Garis khatulistiwa yang melewati Kota Pontianak merupakan satu-satunya garis khatulistiwa di dunia yang persis membelah bumi secara horizontal menjadi belahan utara dan belahan selatan. Maka, berdiri di titik lintang nol yang terdapat di tugu tersebut tentunya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi pengunjung.

Uniknya, bangunan tugu ini terbuat dari kayu ulin, bukan dari semen, sebagaimana bangunan tugu atau monumen pada umumnya. Pengunjung diperbolehkan melihat bangunan tugunya yang asli, melihat dokumentasi sejarah pembangunan tugu dari awal berdirinya hingga sekarang ini, sehingga pengunjung dapat memperoleh pengetahuan dasar tentang ilmu bumi dan astronomi. Di sana juga terdapat sebuah papan informasi yang menunjukkan statistik pengunjung baik domestik maupun mancanegara.

Tugu ini sangat ramai dikunjungi wisatawan pada saat terjadinya fenomena titik kulminasi matahari yang bersiklus dua kali setahun. Siklus yang terjadi pada tanggal 21-23 Maret dinamakan vernal equinox (titik pertemuan pertama) sebagai tanda awal musim semi, sedangkan siklus yang terjadi pada tanggal 21-23 September dinamakan autumnal equinox (titik pertemuan kedua) sebagai tanda awal musim gugur.

Meski hanya sekitar 5-10 menit, melihat langsung benda-benda yang berada di sekitar tugu tersebut tidak memiliki bayangan, tentu saja menimbulkan sensasi tersendiri yang sulit untuk dilukiskan bentuknya. Untuk merayakan dua momen tersebut, biasanya di kawasan tugu digelar berbagai kegiatan, seperti atraksi kesenian tradisional daerah setempat, pameran lukisan, dan lain sebagainya.

Hanya dengan membayar Rp 10.000,- saja, pengunjung akan mendapat sertifikat sebagai bukti bahwa ia pernah mengunjungi Tugu Khatulistiwa. Pada sertifikat tersebut terdapat foto yang bersangkutan dan tanda tangan Walikota Pontianak.

Pada sore hari, kawasan ini tepat sekali dijadikan sebagai tempat untuk bersantai bersama keluarga atau sekadar untuk melepas penat sehabis bekerja seharian. Pada malam hari, eksotisme kawasan ini kian terasa. Dari lokasi taman, pengunjung dapat menikmati keindahan Sungai Kapuas yang memanjang. Kerlap-kerlip lampu dari daerah seberang Sungai Kapuas menambah daya tarik objek wisata ini.
Lokasi

Tugu Khatulistiwa berada di Jalan Khatulistiwa, Kelurahan Siantan, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.
Akses

Lokasi Tugu Khatulistiwa berjarak sekitar 5 kilometer di sebelah utara dari pusat Kota Pontianak. Dari Kota Pontianak, pengunjung dapat naik bus atau angkutan kota yang menuju lokasi tugu tersebut.
Harga Tiket

Pengunjung tidak dipungut biaya.
Akomodasi dan Fasilitas Lainnya

Di sekitar kawasan Tugu Khatulistiwa terdapat berbagai fasilitas, seperti masjid, restoran, rumah makan, warung, toko suvenir, areal parkir yang luas dan aman, serta wisma dan hotel dengan berbagai tipe.

Zona waktu indonesia

INILAH.COM, Jakarta – Dari sisi teknis, penyatuan zona waktu Indonesia jadi WITA atau GMT+8 dinilai bisa membuat pasar nyaman memantau bursa regional Asia. Sebab, berada pada angka jam yang sama.

Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan, secara finansial, pasar-pasar besar di sekeliling Indonesia seperti Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong, berada pada waktu yang setara dengan Indonesia Bagian Tengah. Karena itu, jika zona jadi satu yakni WITA, waktu bakal lebih kondusif bagi bursa Indonesia dari sisi kliring dan lain-lain.

Dari sisi teknis, lanjut Satrio, selama jam trading tidak bertambah dari 5 jam saat ini, perubahan zona waktu tidak masalah. “Positifnya justru, jam bursa bisa sinkron dengan Singapura dan Hong Kong,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Kamis (15/3/2012).

Apalagi, di dalam negeri, selama 30 tahun, pembagian tiga zona waktu yakni Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT) telah membingungkan orang yang tinggal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dengan penyatuan zona waktu itu, jam WIB saat ini, dimajukan 1 jam.

Masalahnya, lanjut Satrio, apakah jadwal kegiatan dimajukan satu jam juga? Jika ya, penyatuan zona waktu itu membuat masyarakat harus hidup lebih pagi. “Jika tidak mengikuti, tak masalah. Begitu juga dengan jam transaksi di pasar modal,” paparnya.

Dia mencontohkan, jam makan siang yang berubah jadi pukul 11.00 atau masih tetap pukul 12 GMT+8 alias pukul 13 WIB. “Jika pukul 11, berarti tidak ada perubahan jam dan lama bekerja,” tuturnya.

Bagi analis yang sudah terbiasa memberikan rekomendasi untuk klien antar pulau, sebenarnya sudah terbiasa dengan jam yang dimajukan. “Dan memang, ketika memantau pasar finansial lebih enak jika kita berada pada WITA karena posisi angka jam menjadi sama dengan Singapura, Hong Kong, dan Malaysia,” ujarnya.

Kecuali, jika perdagangan bursa saham dimajukan sehingga pembukaan pasar berbarengan dengan Singapura, Malaysia dan Hong Kong. Karena online trading, pelaku pasar bisa terlepas dari waktu bursa. Sebab, orang bisa pulang pukul 16.00 WIB dengan mengikuti perdagangan melalui online trading di luar kantor.

Tapi, dari sisi sentiment, jika pembukaan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) berbarengan dengan Singapura dan Hang Seng, pelaku pasar akan susah mencari clue atau contekan pergerakan market. “Saat ini, bursa saham RI lebih gampang menentukan arah karena buka lebih lambat,” ucapnya.

Artinya, jika bursa regional menguat, IHSG pun berpeluang naik. Begitu juga sebaliknya. “Sebagai bagian dari global market, IHSG saling terkait dengan bursa lain. Karena itu, indesk terus mengikuti sentiment dari luar. Secara psikologis, penyatuan zona waktu akan terasa lebih panjang. Sebab, meski malam sudah larut, jam masih menunjukkan pukul 23 GMT+8 alias 24.00 WIB,” ujarnya.

Diberitakan, pemerintah berencana menyatukan tiga zona waktu Indonesia yang terdiri atas Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT) menjadi satu nama, dengan WITA (GMT+8) akan dijadikan patokan waktu. Tujuannya, agar daya saing ekonomi Indonesia meningkat dan birokrasi lebih efisien.